Gonjang-ganjing KPK

Written on 19 February, 2007 – 19:25 | by Rahmat Zikri |
503 Error

Sorry, that didn’t work.
Please try again or come back later.

503 Error. Service Unavailable.

Ada hal yang menarik di seputar KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dalam beberapa hari terakhir ini. Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra tiba-tiba meminta KPK untuk memeriksa sang komandannya sendiri (Ketua KPK) terkait dengan dugaan korupsi, dengan penunjukan langsung dalam pengadaan alat penyadap di KPK.

KPK juga diminta untuk menelaah Keppres No. 80 Tahun 2003 mengenai Pengadaan Barang dan Jasa, yang menjadi dasar hukum penunjukan langsung, agar ada standar dan pemahaman yang sama dalam praktik. Pengadaan alat penyadap yang dilakukan tanpa tender tersebut menggunakan dana APBN tahun 2005 ini bernilai Rp 34 miliar.

Yusril meminta KPK memeriksa Ketua KPK Taufiequrachman Ruki karena dalam proses mendatangkan teknologi penyadapan dari Jerman, Amerika Serikat dan Polandia ini tidak melalui proses tender alias penunjukan langsung.Masalah ini menjadi isu yang sangat menarik, karena selama ini KPK dengan garang dan tanpa tedeng aling-aling mencomot banyak pejabat pada beberapa departemen atau lembaga negara dengan alasan dugaan korupsi yang disebabkan karena proses tanpa tender atau penunjukan langsung.

Membaca berita di atas, saya teringat pada seorang bapak, gurubesar Ilmu Politik di Universitas Indonesia, Ketua Komisi Pemilihan Umum yang sukses membawa bangsa ini melewati hajat besar (Pemilu 2004) yang terbukti paling demokratis yang pernah terjadi di negara ini, bahkan mungkin di dunia. Balasan atas jasa-jasanya adalah meringkuk di ruang tahanan untuk sebuah dugaan ‘korupsi’ yang menggelikan. Prof. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin sebagai Ketua KPU digiring sebagai pesakitan karena memutuskan penggunaan jasa asuransi pada Pilpres Tahap 1 (Juli 2004) dan Tahap 2 (September 2004).

Saya yang waktu itu terlibat membantu secara langsung sebagai bagian dari Tim TI Pemilu 2004 mengetahui dan mendengar langsung berbagai musibah yang dialami oleh beberapa rekan yang terlibat pada Pemilu 2004, baik di pusat atau pun di berbagai pelosok di tanah air. Salah satu yang masih saya ingat, ada yang sampai meninggal dunia karena kecelakaan lalulintas, mungkin karena terburu-buru mengingat waktu yang terbatas, bisa juga karena terlalu lelah bekerja, atau malah kombinasinya. Kalau sudah celaka begitu, siapa yang perduli? Kalau masuk rumahsakit, siapa yang mau membayar?

Untuk ‘menanggung’ resiko tersebut, pada saat menjelang Pilpres Tahap 1, Pak Nazaruddin atas nama KPU (karena jabatan yang melekat pada dirinya sebagai ketua) menunjuk langsung pihak asuransi yang kebetulan memberikan penawaran rendah, yaitu sebesar Rp 500 (limaratus rupiah saja) per kepala. Penunjukan langsung tanpa tender ini bisa dimaklumi. Bukan saja karena rendahnya nilai premi yang dibayarkan, tapi juga mengingat kondisi pada waktu itu yang bisa dikatakan sebagai kondisi darurat. Semua anggota KPU sibuk dengan tugasnya masing-masing. Bahkan saya seringkali melihat Pak Nazaruddin dan/atau Ibu Chusnul Mar’iyah (anggota KPU yang juga menjadi penanggungjawab TI KPU) sampai lewat tengah malam, sekitar jam 2-3 dini hari tepatnya. Dan ini bukan hanya terjadi satu dua kali. Saya dan teman-teman malah terbiasa menginap di ruang kerja beralaskan kasur gulung (Itu pada Pilpres. Waktu Pemilu Legislatif kami malah tidur di kursi).

Berapa besar tuduhan korupsi yang dikenakan pada Prof. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin? KPU membayar premi asuransi pada Pemilu Pilpres 1 dan 2 sebesar Rp 14,8 milyar (meliputi seluruh KPPS, PPS, PPK dan relawan-relawan yang tersebar dari Sabang sampai Merauke). Pada waktu itu, klaim asuransi yang diajukan karena terjadi kecelakaan di beberapa tempat adalah sebesar Rp 0,7 milyar. Nah, dalam kalkulatornya KPK, jumlah korupsi yang terjadi adalah nilai total premi dikurangi nilai klaim yang berhasil diajukan, yaitu Rp 14,8 milyar – Rp 0,7 milyar = Rp 14,1 milyar! Dengan kata lain, dalam kacamata KPK, korupsi tidak terjadi jika ribuan orang pelaksana pemilu celaka, sehingga klaim sama dengan total nilai premi, bila perlu lebih besar. Agar hasil pemeriksaan menyatakan bukan korupsi yang terjadi, tapi keuntungan lah yang diperoleh.

Sebuah analogi yang pas dengan cara hitung di atas adalah persis seperti halnya ketika kita hendak bepergian dengan bus, kapal laut atau pesawat. Kita pun membeli asuransi untuk perjalanan kita tersebut. Ketika kita tiba dengan selamat sampai di tujuan, kita tidak berhak untuk meminta kembali uang asuransi yang telah dibayarkan. Karena memang begitulah aturannya.

Jadi, ‘korupsi’ fiktif sebesar Rp 14,1 milyar itu bukanlah masuk ke kantong pribadi. Penunjukan secara langsung pun dalam keadaan darurat seperti itu wajar-wajar saja. Toh nilainya juga wajar (Rp 500/kepala). Kekuatan hukum Pak Nazaruddin sebagai Ketua KPU yang dapat mewakili KPU pun sudah terbukti pada kasus yang lain. Sehingga tanpa sidang pleno yang mendatangkan seluruh anggota KPU pun beliau bisa mengatasnamakan KPU pada kondisi-kondisi darurat.

Sebagai Ketua KPU, Pak Nazaruddin pernah secara sepihak pada waktu Pilpres 1 memutuskan bahwa surat suara yang coblosannya tembus ke belakang (sehingga dalam 1 kertas suara ada 2 lubang) adalah sah. Undang-undang Pemilihan Umum mengatakan bahwa hal tersebut adalah tidak sah. Tapi pada waktu Pilpres 1, banyak sekali terjadi di lapangan bahwa pemilih main mencoblos gambar pasangan Capres/Cawapres pilihannya tanpa membentangkan kertas lebar-lebar. Sehingga ketika gambar dicoblos, bidang gambar yang ada di belakangnya (kertas lipat dua) juga ikut bolong.

Jika kita mau fair mengatakan bahwa beliau tidak bisa mengambil keputusan sewenang-wenang ketika menunjuk pihak asuransi, maka kita juga harus tegas mengatakan bahwa keputusan Pak Nazaruddin yang menyatakan kertas suara yang tembus bolong dua itu juga adalah tidak sah demi hukum. Karena keputusan sepihak yang menyatakan surat suara yang tembus di dua titik itu tidak diambil melalui sidang pleno. Melainkan keputusan “pribadi” sang Ketua KPU.

Implikasi dari menyatakan keputusan “pribadi” tersebut sebagai tidak sah adalah dengan juga menyatakan bahwa hasil pemilu Pilpres 1 pada 5 Juli 2004 yang lalu adalah tidak sah demi hukum. Jika hasil pemilu Pilpres 1 itu sekarang kita nyatakan tidak sah, maka dengan sendirinya hasil Pilpres 2 pada 20 September 2004 adalah tidak sah juga. Implikasi logis dari tidak sahnya hasil pemilu Pilpres 2 tersebut adalah tidak sahnya kepemimpinan duo SBY-JK pada saat ini. Yang dengan sendirinya pula akan menyatakan bahwa Kabinet dan seluruh pimpinan lembaga negara yang dibentuk dan diangkat oleh SBY-JK adalah tidak sah. Termasuk KPK itu sendiri!

Walau bagaimana pun, cita-cita dan tujuan pembentukan KPK adalah mulia. Kita semua wajib mendukungnya. Namun kita juga berhak prihatin jika melihat cara kerjanya yang seperti itu.

Be Sociable, Share!

Related Posts

--related post--
  1. 9 Responses to “Gonjang-ganjing KPK”

  2. By Yuliana Tan on Feb 20, 2007 | Reply

    Waduhhh lg ngebahas mslh politik nih…-_-;

    Katanya berita2 dan analisa temanku, KPK waktu nunjuk langsung itu karena situasinya jg lg ‘darurat’ atau tepatnya gak bisa tunggu lama2… kalo pakai tender kan minimal makan waktu 50 hari, udah gitu… namanya lagi mau beli alat sadap kalo bisa gak terlalu terbuka ke publik krn masuk golongan lumayan rahasia.

    Trus truz… dengan melaporkan KPK tsb, Yusril dinilai “melawan” Presiden serta menguntungkan para koruptor…

    Hm… di Kompas berita hari ini Ketua KPU dipindahkan tahananannya…

    Dari tadi omong apa sih gua? pada dasarnya gak suka politik sih… auk ah elap mak… :d

  3. By admin on Feb 21, 2007 | Reply

    #1 …
    Seberapa ‘darurat’ nya kah?

    Waktu Pak Nazar melakukan penunjukan langsung pada pihak penyelenggara asuransi tempo hari, itu baru bisa dibilang ‘darurat’. Kenapa? karena Pemilu tinggal hitungan hari lagi. Pemilu tidak mungkin ditunda, karena akan berdampak negatif pada pol-ek-sos-han-kam; politik, ekonomi, sosial, pertahanan dan keamanan.

    Boro-boro untuk menyempatkan sidang pleno yg mengumpulkan semua anggota KPU Pusat dan dilanjutkan dengan tender, di sisa waktu yang tersisa saja para anggota KPU mesti berakrobat jungkir balik mengurus tugas masing-masing agar Pemilu bisa berjalan tepat waktu dan sukses.

    Sama halnya dengan ‘kasus’ statement Pak Nazar soal surat suara yang tembus bolong di dua titik. Tanpa pleno. Toh sampai detik ini tidak ada yang berani bilang kalau itu tidak sah. Karena implikasinya adalah tidak sahnya Pemerintah RI yang sekarang.

    Soal alat sadap yang dibilang rahasia, semua ada mekanismenya. Bukan berarti peserta tender harus tahu tentang apa yang akan dirahasiakan.

  4. By Yuliana Tan on Feb 21, 2007 | Reply

    Semalam di Metro TV ada Live wawancara dengan Pak Yusril .

    Wah.. Beliau gagah nan berani menjawab semua pertanyaan2 pembawa acara disertai dengan senyum khas beliau yang sombong ituh…

    Soal rahasia dan gak rahasia menurut Yusril, pembelian alat sidik jari itu lbh rahasia daripada beli alat sadap, dimana2 orang tau kalo KPK boleh/legal menggunakan alat sadap dalam rangka menjaring para koruptor.Sedang alat sidik jari sudah sangat urgent juga krn banyak org yang punya Paspost lebih dari satu, bla bla…

    Salah satu pertanyaan yang saya ingat :
    Q : Apa benar Bpk melakukan aksi balas dendam seperti yg banyak dikatakan org?
    Y : Kalo balas dendam itu, anda ketok kepala saya, saya ketok balik kepala anda, lah saya kan hanya minta mereka mentelaah kembali Kepres 80 itu, ini belum ditelaah saya sudah di cap yang bukan2, telaah dululah…

    Kalo aku tangkap nih… setelah Pak Yusri di panggil untuk ditanya2in… Beliau mungkin di tuduh melanggar ini dan itu, sedangkan menurut Beliau, ini dan itu harusnya gak msalah krn acuannya Kepres 80 serta kasus lain yg mirip, yaitu kasus di KPK sendiri, knp tidak dipermslhkan? hayoo…? artinya aplikasinya bisa beda2… kok bisa beda? samain presepsi ttg Kepres 80 itu dong… mosok gua disalahin nyang itu kagak?

    Jadi Beliau tdk balas dendam, hanya minta KPK telaah kembali Kepres 80, kok mereka bs lolos, di dia dipermasalahkan.

    Seru juga ya ternyata… Orang hukum mau diseret ke jalur hukum ya susah, apalagi ini pakarnya… hapal banget semua pasal2, UU dan Sk serta segala macam itu, hehehhe 😀

    Eithh… diterakhir Beliau juga bilang, semua yang omong2 negative ttg tindakan dia, wajar saja karena semua punya kepentingannya sendiri2… kalo sampai dia di berhentikan, tidak masalah… sudah biasa dan pengalaman katanya,dulu selangkah lg jadi presiden dia lepas walaupun saat itu menurut dia lawannya gak berat2 amat, trus zaman Gus Dur… dia juga pernah di berhentikan, so hal diberhentikan bukan masalah.

    Enak yah… kalo denger orang pintar dan orang yang tau kedudukan/posisi dia dimana ngomong.. lancar banget… gak pakek terbata2… gugup… dll…cuma suka senyum2 sombongnya itu loh.. gak ku ku…

    Ini cuma pandangan org awam, gak pro manapun… tau Pak Yusril selain senyum sombongnya itu ya… apalagi kl bukan istrinya yang cuantikkk itu .. :p Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya!

  5. By admin on Feb 22, 2007 | Reply

    #3,
    Point of Interest alias pokok pembicaraan utama di tulisan ini adalah pada cara kerja KPK dan kasus “korupsi” Prof. Nazaruddin Sjamsuddin. Bukan pada “keributan” antara Yusril vs KPK. Itu hanya mukaddimah alias pengantar saja.

  6. By Yuliana Tan on Feb 23, 2007 | Reply

    Oh salah ya Om admin…

    Kirain… gonjang ganjing KPK karena yg lagi hangat KPK vs YI 😛 About Pak Nazar cm menguatkan kmb. hie hie…

    Maaf OOT

  7. By chusnul mar'iyah on Feb 24, 2007 | Reply

    membaca tulisan sdr. zikri tentu saja terharu. saya ingin menambahkan informasi.
    1. pada tgl. 19 Desember 2006 Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan permohonan pasal 53 UU no 30 tentang KPK. pasal ini adalah pasal tentang pengadilan tindak pidana korupsi bertentangan dengan UUD 1945. bisa dibayangkan seorang nazaruddin syamsuddin yang dianggap melanggar kepres 80 tahun 2003 karena penunjukan langsung diganjar 7 tahun oleh pengadilan yang melanggar UUD 1945.

    2. menurut saya kalau kita bangsa Indonesia mau secara adil melihat apa yang dimaksud dengan pemberantasan korupsi tentunya harus dilihat secara komprehensif. kenapa Yusril dan Ruki diperbolehkan oleh Presiden (berita hari ini) untuk melakukan penunjukkan langsung, sementara Nazar yang tanpa tanda tangannya Pak Nazar, presiden tidak akan bisa menjadi presiden. Presiden dilantik karena SK KPU yang dibacakan oleh Pak Nazar di MPR. Kalau Pak Nazar mau korupsi saya yakin yang menang bukan Presiden saat ini. Jadi sah-sah saja kalau sdr. zikri melihat kenapa ada perbedaan, paling tidak untuk mengingatkan kita bahwa para pemimpin tersebut sudah dlolim dalam menjalankan tugasnya.

    3. info pula:
    a. anggaran KPK itu anggaran seperti DIPA APBN yaitu anggaran yang sudah di sahkan sejak tahun sebelumnya biasanya sekitar oktober atau november tahun 2006 misalnya untuk anggaran tahun 2007, sehingga punya waktu satu tahun untuk mengadakan tender.

    b. anggaran Yusril itu ABT anggaran tambahan biasanya diminta di tengah tahun, sehingga hanya ada waktu 4-5 bulan untuk melaksanakannya.

    c. anggaran KPU itu berdasarkan SKO sehingga harus diminta setiap dibutuhkan. untuk tahun 2004 KPU harus meminta 13 kali SKO. untuk asuransi pilpres I dan II menteri keuangan baru menyetujui ari pada tanggal 26 juni 2004 untuk pemilu tgl 5 juli 2004. sehingga hanya ada waktu 9 hari sebelum hari H pilpres I. dari 47 saksi tidak ada satu pun yang memberatkan pak nazar. dari 273 bukti hanya dua yang memberatkan yaitu pak nazar menandatangani SK panitia dan MOU dengan jasa asuransi.

    4. Dengan demikian adilkah memasukkan pak nazar ke Cipinang? dan sudah 23 bulan beliau harus dikurung? Insya Allah buku beliau tentang biografi beliau akan segera teribit setebal 900 an halaman, untuk murid-murid beliau, murid muridnya beliau, teman murid beliau dan murid teman murid beliau dan untuk bangsa ini. kebanaran Insya Allah akan membuktikan dirinya sendiri.

    salam,

  8. By HENDRA on Mar 7, 2007 | Reply

    pada kasus alat yang di beli KPK si roy suryo kembali berkomentar yang salah..yang mengatakan harga yang terlalu mahal..hahaha..dan ternyata setelah di jelaskan oleh KPK si roy baru mengakui data yang dia pakai adalah tahun 2002-2003 roy roy dasar memang badut..PAKAR GADUNGAN..BUSUK DAN PENIPU..ROY SURYO PAKAR GADUNGAN

  9. By Agungk on May 16, 2007 | Reply

    Emang KPK itu cuman alat politik.
    Orang yang berniat tulus koq dicekek, sementara yang jelas-jelas mencuri uang berton-ton tak disentuh.
    Bagi orang-orang yang punya kemampuan, sebaiknya menghindari menjadi pejabat atau melakukan apapun demi negara ini, karena toh pada giliriannya akan diganjar dengan bui!!!

    Biar saja LSM itu semua yang mengurus negara. Bubarkan saja Indonesia, kalau kata saya.

  10. By Nine Seasons on Sep 13, 2011 | Reply

    Kalau mau tau lebih byk tentang kisah mantan ketua KPU, Nazaruddin Sjamsuddin, bisa dibaca di otobiografi Bukan Tanda Jasa, yg mengungkap pengalamannya selama memimpin KPU thanks http://nineseasonscom.blogspot.com/2010/03/bukan-tanda-jasa.html

Post a Comment

About Me

The smiling geekIndependent IT Consultant and Trainer, mastering in Microsoft technologies. 13 years experience in all level of systems and network engineering. Currently being awarded as Microsoft MVP in Exchange Server. Live in Jakarta, Indonesia. Claimed himself as a not ordinary geek, who loves photography and hanging out with friends. More.

Want to subscribe?

 Subscribe in a reader Or, subscribe via email:
Enter your email address:  
Google