Shalat Ghaib untuk Pak Harto

Written on 29 January, 2008 – 10:55 | by Rahmat Zikri |
503 Error

Sorry, that didn’t work.
Please try again or come back later.

503 Error. Service Unavailable.

Setelah 24 hari dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta, Soeharto –mantan Presiden Republik Indonesia– akhirnya meninggal dunia pada hari Minggu 27 Januari 2008 kemarin. Sengaja saya menggunakan kata ‘akhirnya’, karena sepertinya hampir semua orang bisa menduga bahwa beberapa waktu yang lalu ajal Pak Harto memang sudah sangat dekat.

Dengan kondisi kesehatan yang sangat fluktuatif dalam 3 minggu terakhir ini, apalagi ditambah pernyataan tersirat dari tim dokter bahwa peluangnya bisa dibilang fifty-fifty, hari-hari beliau dirawat di rumah sakit merupakan berita yang tentunya sangat menarik untuk diikuti.

2 minggu terakhir sebelum wafatnya Pak Harto, nyaris bisa dibilang saya tidak berhubungan dengan tv dan/atau koran nasional. 1 minggu saya berada di remote site sebuah perusahaan pengalengan nenas di Lampung, plus hampir 1 minggu di negeri jiran. Updating hanya saya terima dari Internet dan tv asing. Makanya, boleh dibilang saya bersyukur tidak kehilangan moment berita penting ketika hari Minggu kemarin sudah ada di Jakarta kembali.

Di antara sekian banyak berita, baik liputan atau pun obituari –yang saya yakin sekali sebenarnya semua stasiun tv sudah menyiapkannya sejak beberapa hari sebelum Pak Harto mangkat–, satu yang menarik saya untuk berkomentar. Yaitu adanya orang yang melakukan shalat ghaib di beberapa tempat, untuk men-shalat-kan Soeharto.

Berdasarkan tuntunan agama Islam, salah satu rukun jenazah yang harus dijalankan adalah adanya kewajiban men-shalat-i jenazah. Hukumnya adalah fardhu kifayah. Fardhu artinya wajib. Berdasarkan jenisnya ada 2 (dua). Fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Fardhu ‘ain adalah kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan atau diwakilkan oleh orang lain. Contohnya kewajiban shalat 5 (lima) waktu. Sedangkan fardhu kifayah adalah kewajiban yang dibebankan atas kelompok. Ketika sudah ada yang menjalankan, maka orang yang lain akan terlepas dari kewajiban tersebut. Salah satu contoh yang paling hangat adalah shalat jenazah.

Normalnya, shalat jenazah dilakukan di depan si mayat. Yang membedakan dengan shalat lainnya adalah tidak adanya gerakan ruku’ apalagi bersujud di depan mayat. Jika pada shalat berjamaah lainnya ada banyak sekali persyaratan bagi seorang imam (di antaranya: memiliki bacaan paling baik), pada shalat jenazah sangat diutamakan yang menjadi imam adalah orang terdekat almarhum/almarhumah (misal: anak kandung). Pada kasus khusus, agama juga mengajarkan tata cara shalat jenazah tanpa keberadaan jenazah di depan. Istilahnya disebut dengan shalat ghaib.

Shalat ghaib dimaksudkan agar orang tetap bisa men-shalat-kan orang yang dipastikan meninggal tetapi tidak ditemukan keberadaan jenazahnya. Misalnya, korban yang tenggelam di laut, atau pesawat jatuh di hutan belantara yang kemudian tidak berhasil ditemukan. Jika diambil dari pendekatan bahasa, ghaib berarti hilang == raib. Jika demikian, jika mayatnya tidak hilang (baca: jenazah jelas-jelas ada) maka tidak ada yang namanya shalat ghaib untuk jenazah tersebut (kecuali jika ternyata tidak ada yang men-shalat-kannya, misal karena meninggal di tempat yang tidak ada orang muslimnya). Apalagi jika ternyata sudah ada beberapa orang lain yang men-shalat-kan jenazah tersebut. Atas dasar jenis hukum shalat jenazah yang bersifat fardhu kifayah, maka gugurlah kewajiban orang lain (jika sudah ada yang menjalankan). Dengan kata lain, ketika sudah ada banyak orang yang men-shalat-kan jenazah Pak Harto, maka kita yang tidak sempat hadir dan ikut men-shalat-kan jenazahnya tidak perlu menjalankan shalat ghaib di tempat atau kota lain.

Selain ‘kasus’ shalat ghaib bagi Pak Harto, sebenarnya ‘kasus’ serupa adalah hal umum yang banyak dilakukan orang di Indonesia. Paling umum terjadi adalah ketika ada kerabat yang meninggal ketika menjalankan ibadah haji di tanah suci Makkah. Untuk yang satu ini, alangkah luar biasanya mereka yang meninggal di tanah suci. Bayangkan saja, berapa ratus ribu atau bahkan juta orang yang men-shalat-kannya di sana. Kenapa masih harus dibuat-buatkan shalat ghaib di tanah air?

Walau niat, maksud dan tujuannya baik, tapi yang lebih penting untuk diingat adalah tindakan tersebut merupakan perbuatan yang  tidak ada tuntunannya, alias bid’ah. Jadi, walau kelihatannya maksudnya baik, tapi yang didapat bukan pahala, malah bisa jadi sebaliknya. Sekali lagi, berdasarkan tuntunan, shalat ghaib hanya dijalankan ketika jenazahnya benar-benar ghaib alias hilang (atau jika jenazah belum di-shalat-kan orang lain).

Be Sociable, Share!

Related Posts

--related post--
  1. 10 Responses to “Shalat Ghaib untuk Pak Harto”

  2. By Jay on Jan 29, 2008 | Reply

    Ya begitulah… di Indonesia banyak yang seperti itu, sampai ke urusan yang kecil sekalipun selalu ada kecenderungan ‘improvise’ yang melenceng dari esensinya.

  3. By Diaannn on Jan 29, 2008 | Reply

    Pertamaaaxxx 🙂
    akhirnya zikri posting juga he he he

  4. By Koen on Jan 29, 2008 | Reply

    Hm, ini masuk akal sekali. Kenapa aku baru dengar sekarang ya? Tadinya aku mau menanyakan barangkali ada dalil yang memperkuat argumen di atas. Tapi nggak jadi. Aku nggak akan memeriksanya juga :). So, terima kasih :).

  5. By susanvirna on Jan 30, 2008 | Reply

    Tausyiah lagi… keren 🙂 Zikri makin kesini makin dalem ya ilmu agamanya.

  6. By Rahmat Zikri on Jan 30, 2008 | Reply

    Mas Koen,

    Menurut riwayat, Rasulullah SAW tidak pernah melakukan shalat ghaib kecuali untuk Najasyi (raja negeri Habasyah). Ini dilakukan setelah beliau mendapat kabar tentang meninggalnya Najasyi di lingkungan orang kafir, sehingga tidak ada yang men-shalat-kannya.

    Pada masa Rasulullah, telah banyak kaum muslim yang meninggal di berbagai tempat. Tapi, tidak satu pun shalat ghaib yang dilakukan. Karena mereka yang meninggal tersebut telah di-shalat-kan oleh orang lain.

  7. By Diaannn on Jan 30, 2008 | Reply

    Yah.. ternyata gw gagal jualan pertamax 🙁
    Abis Zikri commentnya gak dibuat auto approve.
    Spechless deh kalo zikri udah ngomongin agama…

  8. By Fajar on Jan 30, 2008 | Reply

    wah
    saya blum sholat buat pak harto nih
    :mrgreen:

  9. By Ladung on Feb 17, 2008 | Reply

    Mimpi apa lo semalem trus nulis kaya gini?

  10. By riry on Apr 11, 2008 | Reply

    Assalamu’alaikum… makasih infonya… btw, sumber2 referensinya boleh ditulis ? 🙂 syukron, jzzkllah…

  11. By Jinius on Mar 21, 2012 | Reply

    masuk akal dan setuju. Memang yang benar sholat jenazah tidak ada sholat ghaib.

    Tidak setuju, karena arti dari ghaib itu bukan raib/tidak kelihatan. Saya lebih cenderung artinya adalah “tak terjangkau”. Cth; mukjizat para nabi dapat dilihat mata kepala, tapi mukjizatnya tetap di sebut dengan ghaib.

    Kalau secara arti yang dalam, ghaib adalah pengetahuan yang dimana, pengetahuan tersebut hanya Tuhan yang tau, dan pengetahuan tersebut Tuhan beri ajarkan hanya kepada makhluk yang dekat kepada-Nya, cth, malaikat dan para nabi.

    Thanks.

Post a Comment

About Me

The smiling geekIndependent IT Consultant and Trainer, mastering in Microsoft technologies. 13 years experience in all level of systems and network engineering. Currently being awarded as Microsoft MVP in Exchange Server. Live in Jakarta, Indonesia. Claimed himself as a not ordinary geek, who loves photography and hanging out with friends. More.

Want to subscribe?

 Subscribe in a reader Or, subscribe via email:
Enter your email address:  
Google