Yang Tersisa dari Agustus-an
Sorry, that didn’t work.
Please try again or come back later.
503 Error. Service Unavailable.
Sebenarnya posting ini ingin saya tulis sebelum 17 Agustus, bahkan sejak beberapa tahun yang lalu. Kenapa? Karena setiap kali menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ini, setiap kali itu pula acap terlihat dan terdengar kesalahan-kesalahan yang selalu dan selalu terjadi.
Dirgahayu
Kesalahan pertama adalah penggunaan kata Dirgahayu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘dirgahayu’ mengandung makna: berumur panjang, semoga panjanglah usianya. Penggunaan kata ‘dirgahayu’ ditujukan kepada negara atau organisasi yang sedang memperingati hari jadinya.
Penggunaan kata ‘dirgahayu’ pada kalimat: “Dirgahayu Indonesia” adalah benar. Tetapi menjadi salah kaprah jika ditulis menjadi: “Dirgahayu Indonesia ke-64”. Bayangkan saja maknanya: “Semoga panjang umur Indonesia ke-64”. Tetapi sejak saya bisa membaca di awal tahun 1980-an, sampai berpuluh tahun kemudian pun masih tetap ada, bahkan di tengah-tengah ‘pusat’ Jakarta di Bundaran Hotel Indonesia.
Sang Saka Merah Putih
“Sang Saka Merah Putih” merujuk pada bendera yang dikibarkan pada peristiwa Proklamasi Republik Indonesia, di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, pada tanggal 17 Agustus 1945. Bendera ini dijahit oleh Ibu Fatmawati, menggunakan kain katun Jepang. Selanjutnya bendera ini hanya dikibarkan setahun sekali, pada waktu peringatan 17 Agustus di Istana Merdeka.
Dalam perjalanannya, bendera tersebut menjadi bendera ‘pusaka’’. Sehingga dijuluki “Sang Saka Merah Putih”. Namun tak jarang pada upacara-upacara bendera yang ada dijumpai teriakan komandan upacara: “Kepada, sang saka merah putih, hormaaaaaaaaattt… grakkk!”
Akan tetapi belakangan memang muncul wacana yang menyebut bahwa telah terjadi ‘perluasan’ makna, sehingga bendera merah putih ‘biasa’ pun disebut “sang saka merah putih”. Saya pribadi tetap menganggap yang namanya ‘pusaka’ adalah sesuatu yang “limited edition”.
Karena usang dimakan jaman, bendera pusaka ini terakhir dikibarkan pada peringatan 17 Agustus tahun 1968. Selanjutnya yang dikibarkan adalah duplikat bendera pusaka.
Paskibraka
Penggunaan istilah Paskibraka merujuk pada pasukan pengibar bendera pusaka, pada setiap peringatan 17 Agustus di Istana Merdeka. Pasukan ini berasal dari putera-puteri bangsa Indonesia yang terpilih yang berasal dari semua propinsi di Indonesia.
Pada praktiknya, Paskibraka hanya mengibarkan duplikat bendera pusaka. Namun, selama bertahun-tahun bendera pusaka selalu mendampingi (kalau masih ingat, dulu selalu ada 2 puteri membawa baki naik ke podium Presiden. 1 untuk membawa bendera pusaka, 1 untuk membawa duplikat bendera pusaka). Namun, lagi-lagi karena lapuk oleh usia, saat ini bendera pusaka sudah tidak ikut mendampingi duplikatnya lagi di setiap perayaan 17 Agustus di Istana Merdeka.
Nah, dengan demikian jelaslah bahwa Paskibraka hanya merujuk pada pasukan yang bertugas mengibarkan (dan juga menurunkan) bendera pada tanggal 17 Agustus di Istana Merdeka. Di luar pasukan tersebut, pada setiap peringatan sejenis, istilah yang dipakai hanyalah Paskibra saja.
Untuk penggunaan istilah ini saya lihat banyak yang benar. Misal, sejak masih bersekolah di Lampung saya ingat bahwa di sana (pada peringatan 17 Agustus di tingkat Propinsi), istilah yang dipakai adalah Paskibra.
4 Responses to “Yang Tersisa dari Agustus-an”
By awan on Sep 8, 2009 | Reply
jadinya gimana dong kri
“Kepada sang dupli/plikat/duplikat merah putih… hormaaaaattttt grakkk” gitu?
ihihihihi
By Endah on Sep 17, 2009 | Reply
ya… cukup dibilang bendera merah putih aja kan bisa
By Ahmad on Oct 6, 2009 | Reply
sepihak dengan ibu ENDAH…..