Derajat Kehalalan Sebuah Restoran
Bulan lalu dunia maya diramaikan oleh isu restoran Solaria haram! Entah siapa yang memulai, yang pasti dengan cepatnya isu itu menyebar. Kemajuan teknologi yang ada pada saat ini tidak diikuti oleh kemajuan cara berpikir rasional penggunanya. Dengan mudah berita burung tersebut menyebar melalui broadcast di Blackberry Messenger, Facebook, dsb.
Status “halal” bagi muslim adalah sebuah keharusan. Mungkin atas dasar itu, ada banyak yang menanyakan status halal restoran Solaria, sehingga muncul tulisan berikut ini: “Solaria Belum Bersertifikat Halal”. Nah, bagi segelintir orang yang memulai masalah jadi ramai mungkin berpikir bahwa “belum bersertifikat halal” artinya sama dengan “haram”. Makin parah ketika ada sebuah artikel yang tidak jelas asal-usul dan kebenarannya, menulis “Solaria sudah haram, arogan pula”. Broadcast pun dengan cepat merebak.
Tanggapan dari ramainya kasus di atas di dunia maya beragam. Mulai dari yang cuek, yang ikut-ikutan menyebarluaskan, sampai yang menghujat Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dianggap sedang mencari lahan bisnis (sertifikasi) atau MUI membuat sendiri standar halal yang kompleks semaunya sehingga untuk mendapatkan sertifikat halal harus memberikan banyak uang.
Kehalalan sebuah makanan adalah sebuah kesatuan proses dari hulu sampai hilir. Bukan sekedar tidak mengandung babi dan/atau bahan-bahan lain yang diharamkan oleh agama Islam. Ini yang jarang disadari, bahkan oleh sebagian umat Islam sendiri. Misalnya ayam. Sebuah restoran yang hanya menjual ayam goreng saja tidak otomatis bisa mendapatkan sertifikasi halal. Kenapa? Karena untuk mendapatkan status halal dari faktor ayam –nya saja ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Misalnya, apakah ayam tersebut disembelih dengan cara yang Islami? Bagaimana itu syarat menyembelih yang Islami? Ayam tersebut haruslah disembelih oleh seorang muslim, menyebut nama Allah ketika menyembelih, disembelih dengan pisau yang tajam dan tepat di urat lehernya. Belum lagi kalau kita lanjutnya dengan proses selanjutnya. Misal, apakah digoreng dengan menggunakan minyak babi? Bahkan sampai pada peralatan memasak dan menyajikan. Jika peralatan memasak dan menyajikannya menggunakan alat yang pernah digunakan untuk memasak makanan yang haram (babi), maka walau pun menu ayam tadi halal, otomatis akan menjadi haram!
Untuk itu –lah keberadaan sertifikasi halal diperlukan untuk memastikan bahwa makanan yang ada halal bukan hanya dari bahan makanannya, tetapi dari keseluruhan proses dari hulu sampai hilir.
Di Indonesia, MUI adalah lembaga yang mendapatkan kewenangan untuk mengeluarkan sertifikasi halal. Hal ini dikuatkan secara hukum oleh surat keputusan Menteri Agama dan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Tetapi perlu diketahui juga bahwa sertifikasi halal ini bersifat sukarela. Artinya, MUI tidak punya kekuatan untuk memaksa sebuah produk atau restoran untuk mengambil sertifikasi tersebut. Dengan kata lain, kalau tidak mau melakukan sertifikasi halal pada MUI ya silahkan saja.
Keberadaan label sertifikat halal itu sesungguhnya untuk membantu umat Islam yang membutuhkan petunjuk/konfirmasi kehalalan dari makanan yang hendak dia makan. Kalau bagi umat Islam yang tidak membutuhkan ya terserah saja. Apalagi buat teman-teman yang non-muslim. Saya mengatakan hal ini karena ironisnya justru beberapa orang yang menghujat adalah orang yang KTP –nya Islam juga.
Keberadaan label sertifikat halal dari lembaga yang berwenang itu mirip dengan label pada bank syariah. Keberadaan bank dengan label syariah tidak berarti membuat bank yang tidak syariah jadi bangkrut. Bahkan masih tetap banyak umat Islam yang tetap setia menjadi nasabah bank-bank yang melakukan riba (non syariah). Keberadaan bank syariah juga tidak berarti memaksa penduduk Indonesia yang beragama Islam untuk hanya berurusan dengan bank syariah. Di Eropa saja orang sudah berbicara soal standar halal. Padahal umat Islam di sana minoritas (baca di sini). Jadi keberadaan sertifikasi halal tidak perlu ditanggapi sinis dengan terlalu heboh.
Kembali kepada judul tulisan, derajat kehalalan sebuah restoran. Salah satu hujatan kepada MUI yang saya sempat baca di media sosial adalah kenapa MUI hanya menyasar pada restoran-restoran besar? Mengapa warteg yang jumlahnya ribuan ngga disenggol? Apa karena tidak ada uangnya? Jawabannya sebenarnya sederhana, sertifikasi halal di MUI bersifat sukarela. Yang berminat harus datang dan mengajukan proses sertifikasi halal.
Pada saat darurat, ketika kita tidak dapat menemukan makanan yang halal, umat Islam diperbolehkan memakan makanan yang haram. Tentunya syarat dan ketentuan berlaku. Artinya, pada keadaan di mana kita tidak bisa menemukan makanan dengan sertifikat halal, boleh saja derajat standar kehalalan diturunkan. Misalnya, yang penting bahan makanannya halal (misal makan ayam atau daging sapi; tetapi ayam atau sapi tersebut tidak disembelih atas nama Allah).
Di negara tetangga saya menemukan label menarik:
Label ini adalah serendah-rendahnya standar halal yang kita gunakan. Setidaknya si pemilik kedai makan ini sudah menginformasikan bahwa di sana makanannya tidak menyediakan babi atau menggunakan minyak babi.
Level berikutnya adalah self-claimed dari pemilik tempat makan dengan menulis sendiri tulisan “Halal”, “100% Halal”, atau ditulis dalam huruf arab seperti:
Dalam hal ini kita percaya saja bahwa apa yang tersaji di sana halal. Mungkin sedikit lebih meyakinkan daripada hanya ditulis “No Pork and Lard”.
Level yang lebih meyakinkan tentunya adalah label halal yang diperoleh setelah mengikuti pemeriksaan dari lembaga yang berwenang. Kebetulan di Indonesia adalah LPPOM MUI. Mereka yang telah mendapatkan sertifikat halal dari MUI bisa memasang logo seperti ini:
Dengan keberadaan label tersebut, pembeli yang membutuhkan kepastian mendapatkan level terbaik untuk keyakinannya.
Nah untuk mengikuti pemeriksaan dalam proses sertifikasi tentunya butuh biaya. Misal ada uji lab yang harus dilakukan, uji lab ini tentu perlu biaya kan? Begitu juga pengecekan-pengecekan lainnya (misal daging diperoleh dari mana, apakah sumber daging tersebut mengolah daging dengan cara yang syar’i sesuai ajaran Islam, dsb). Jadi adalah hal yang wajar jika kemudian muncul komponen biaya. Kalau tidak mau ada biaya ya pakai saja logo yang bersifat klaim sendiri, tulis “Halal”.
Proses menuju hasil halal atau tidak itu juga pasti transparan. Tidak mungkin sebuah restoran atau produk dihambat untuk mendapatkan label halal sampai mereka mau membayar sejumlah uang sebagai “pelicin”. Kenapa? Karena standar halal itu jelas dan baku. Jadi, jika dalam prosesnya dinyatakan ada bagian yang tidak memenuhi syarat untuk jadi halal, pasti bagian yang menghambat itu disebutkan.
Labelisasi halal seperti yang dilakukan MUI ini bukan hanya di Indonesia. Di negara-negara lain juga ada. Bahkan beberapa negara mengadopsi metoda sertifikasi yang dikeluarkan MUI. Silahkan buka link berikut ini untuk melihat logo-logo halal dari berbagai negara, bahkan pada negara-negara dengan penduduk mayoritas non-muslim sekali pun: sertifikat halal dari seluruh dunia.
Jadi kesimpulannya:
- belum mendapatkan sertifikat halal tidak berarti pasti haram
- yang namanya halal tidak berarti sekedar asal tidak mengandung babi
- standar halal bersifat baku dan jelas
- sertifikat halal memberikan jaminan proses dari hulu sampai hilir
- tidak ada kewajiban atau paksaan untuk melakukan sertifikasi halal.
4 Responses to “Derajat Kehalalan Sebuah Restoran”
By Vavai on Sep 17, 2013 | Reply
Thanks untuk tulisannya mas, lengkap dan komplit. Mencerahkan.
By HeruLS on Sep 17, 2013 | Reply
Cukup jernih, aku belajar banyak.
Sehingga dalam pemahamanku, sertifikat halal MUI itu hanya salah satu versi klaim saja.
By Axxel on Aug 3, 2014 | Reply
thanks infonya gan, sangat bermanfaat
By Ayam Karkas on Aug 31, 2014 | Reply
Alhamdulillah, tempat usaha saya sudah memiliki sertifikat Halal MUI